
Joko Wibowo bingung. Ayah satu anak ini sama sekali tak pernah mengetahui jika di kawasan Ancol, Jakarta Utara, berdiri benteng yang sudah berumur ratusan tahun. Padahal, jarak rumah Joko di kawasan Sinar Budi, Bandengan, Penjaringan, Jakarta Utara, hanya berjarak tak lebih dari 15 kilometer dari lokasi berdirinya benteng. "Seumur-umur saya baru tahu kalau ada benteng di Ancol," kata pria berusia 30 tahun itu, baru-baru ini.
Joko datang ke Benteng Park--atau lebih dikenal dengan sebutan Benteng Ancol, bersama teman sehobinya, Vera Ernawati. Mereka berdua tengah gandrung menekuni dunia fotografi. Hampir setiap pekan atau setidaknya sebulan dua kali, mereka menyempatkan diri untuk hunting bersama. "Ke Ancol sudah beberapa kali, tapi tetap tidak tahu jika ada benteng di sini," lanjut Vera.
Memang tidak banyak yang mengetahui keberadaan Benteng Ancol. Kendati berada di dekat pantai, benteng tak termasuk ke dalam lokasi Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Letaknya berada di luar gerbang, meski masih berada dalam satu area Ancol.
Itulah sebabnya, mungkin, banyak petugas keamanan dan pegawai di bagian informasi yang tak mengetahui keberadaan benteng. Dari tiga petugas keamanan yang ditanya di dalam TIJA, tak seorang pun yang mengetahui lokasi persis benteng. Baru saat bertanya pada orang keempat, kehadiran benteng mulai terkuak. "Kalau tidak salah sih di dekat makam Belanda," kata petugas keamanan tersebut. Itu pun dijawabnya dengan tidak yakin. Penuh keraguan.
Makam yang dimaksud adalah Ereveld Ancol. Di sini warga Belanda yang meninggal di berbagai daerah di Indonesia dimakamkan. Tak hanya mereka yang memeluk agama Kristen, banyak juga warga negara Belanda yang Muslim dimakamkan di sana. Jika Anda ada kesempatan ke Ancol, tidak ada salahnya menengok makam yang dikelola langsung oleh sebuah yayasan bernama Netherlands War Graves Foundation (Oorlogsgravenstiichting). Soalnya makam ditata dengan rapi dan bersih. Bisa dijadikan acuan bagi siapa pun untuk merawat makam dengan baik.
Kembali ke benteng, ternyata informasi yang diberikan petugas keamanan itu salah. Benteng tak berada di dekat makam Belanda. Bangunan yang pernah menjadi pertahanan di utara Jakarta itu berada di luar gerbang. Letaknya tak jauh dari gerbang Sentra Komunitas Ancol Timur. Berhadapan dengan rumah-rumah besar di Jalan Pasir Putih II. Jika tidak teliti, besar kemungkinan Anda tak akan melihatnya. Tersasar berulang kali seperti Joko dan Vera.
"Oh, ini bentengnya," ujar Joko, sambil mengeluarkan kamera dari dalam tasnya. Dia masih tak percaya jika di Ancol benar-benar ada benteng. Apalagi, tak banyak informasi yang dia peroleh di sana. Selain itu tak ada seorang pun pemandu yang bisa ditanya soal sejarah maupun tetek bengek soal benteng.
Kondisi benteng memang terkesan seadanya. Kemungkinan besar Benteng Ancol dulunya digunakan sebagai bunker. Sebab, ada lorong yang sudah tertutup di sisi benteng. Namun, ketebalan bastion masih terlihat, diperkirakn memiliki ukuran sekitar 130 hingga 300 meter. Masih kokoh, walaupun kusam.
Saat Joko datang, terdapat gerobak mi ayam di tengah benteng. Ini menambah kesan bahwa benteng itu seperti dibiarkan begitu saja. Belum lagi sejumlah pakaian yang dijemur di tembok benteng.
==
Menurut catatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Benteng Ancol dibangun sekitar tahun 1920 oleh Koninklijk Leger (KL) atas biaya pemerintah Hindia Belanda. Fungsinya, selain tempat menyimpan senjata, juga sebagai tempat menaruh berbagai peralatan perang.
Dalam keadaan perang, senjata itu disalurkan ke daerah-daerah lain melalui Stasiun Ancol yang letaknya tak jauh dari benteng. Hal ini berdasarkan adanya ruangan yang panjang dan sempit di dalam benteng. Konon, Benteng Ancol dibangun untuk meningkatkan pertahanan Batavia.
Bagian timur benteng masih agak utuh. Ada tiga ruangan yang diperkirakan merupakan ruang muka, ruang tengah, dan ruang belakang. Ruang muka memiliki panjang 35 meter. Disekat menjadi tiga ruangan yang masing-masing diberi jendela dengan ukuran berbeda. Jendela sebelah kiri berukuran 1x1m, jendela sebelah kanan berukuran 0,5x0,5m, dan ruang tengah panjangnya mencapai enam meter.
Di area benteng juga berdiri kantor perlengkapan dan kebersihan TIJA. Ada beberapa mobil kebersihan terparkir di sana. Sedangkan informasi, maaf, untuk yang ini tidak tersedia. Jadi jangan harap Anda bisa memperolehnya.
Saya membayangkan Benteng Ancol dikelola lebih baik lagi. Menjadi pusat informasi dan dokumentasi sejarah ratusan benteng yang ada di Indonesia. Di sana dibangun sebuah gedung pertunjukan visual yang memuat sejarah benteng di Tanah Air. Dari Sabang sampai Merauke.
Ini pasti akan membantu siapa pun, terutama generasi muda dan mereka yang haus sejarah untuk mengetahui keberadaan benteng di Indonesia tanpa harus mengunjunginya satu persatu. Jika Dunia Fantasi berisi beraneka wahana mainan dari berbagai negara, maka Benteng Ancol adalah pusat dokumentasi benteng di seluruh Indonesia. Semuanya disajikan melalui tayangan visual yang dibuat dan disajikan secara memikat agar masyarakat bisa lebih mencintai kekayaan sejarah di negeri ini.
Soalnya, banyak sekali benteng di Indonesia, namun coba suruh masyarakat menyebut sepuluh di antaranya. Pasti banyak yang tidak bisa melakukannya. Hal ini terjadi mungkin karena tidak ada pusat dokumentasi soal benteng. Masyarakat harus pergi jauh dan mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit untuk sekadar mengetahui Benteng Vredeburg (Yogyakarta), Benteng Rotterdam (Makassar), atau Benteng Malborough (Bengkulu).
Padahal, kalau di Ancol ada pusat dokumentasi benteng, mereka tak perlu pergi ke berbagai daerah untuk mengetahui kekayaan sejarah Indonesia. Cukup datang, bayar tiket masuk, dan menyaksikan berbagai benteng yang berusia ratusan tahun itu. Dari Benteng De Kock (Bukittinggi, 1755), Benteng Portugis (Jepara, 1632), Benteng Vastenberg (Solo, 1745), Benteng Pendem (Cilacap, 1861), sampai benteng-benteng yang ada di wilayah timur, seperti Benteng Belgica (P. Banda, 1611), Benteng Victoria (Ambon, 1775), dan Benteng Du Bus (Papua, 1828). Ini adalah Our national heritage yang luar biasa.
Jika pusat dokumentasi benteng terwujud, bukan tak mungkin, Benteng Ancol akan lebih ramai dan terawat lagi. Apalagi kalau fasilitas publik, seperti kantin, parkir, tempat ibadah, dan toilet dilengkapi. Pokoknya, dibuat fasilitas senyaman mungkin agar orang betah berlama-lama belajar maupun berwisata di benteng.
Di sana juga bisa digelar berbagai kegiatan, baik outdoor maupun indoor. Dari pameran, gathering komunitas, sampai pemutaran film sejarah. Intinya, jadikan Benteng Ancol sebagai pusat pengetahuan seputar benteng.
"Itu bisa saja dilakukan, namun yang penting jangan sampai merusak situs sejarahnya," ujar Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia. Belakangan Asep dan kelompoknya kerap mengajak masyarakat mengunjungi berbagai obyek wisata sejarah di Tanah Air. Jemput bola agar masyarakat juga mengetahui sejarah bangsa ini.
Menurut Asep, banyak potensi yang bisa dimanfaatkan dari benteng untuk generasi mendatang. Sayangnya, sedikit yang mau peduli soal tersebut. Selain tak seksi, mengelola obyek sejarah juga dianggap tak bisa menghasilkan secara ekonomis.
Padahal, boleh jadi, pandangan tersebut keliru. Sebab, banyak negara maju di luar negeri yang bisa menjadikan peninggalan sejarah sebagai obyek wisata yang menghasilkan. Hampir setiap tahun jutaan orang datang berbondong-bondong hanya untuk melihat peninggalan Kaisar Romawi atau Yunani.
Indonesia sebenarnya juga bisa seperti itu. Asal pemerintah, swasta, dan masyarakatnya mau sedikit lebih peduli dengan peninggalan sejarah yang ada.
Khusus untuk Benteng Ancol, saya membayangkan jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pengelola Taman Impian Jaya Ancol bisa bersinergi. Bahu-membahu memberdayakan Benteng Ancol. Soalnya, kedua institusi tersebut mempunyai kelebihan yang bisa saling menunjang.
Ancol memiliki keunggulan di bidang finansial dan promosi. Nama besarnya sudah teruji sebagai salah satu pengelola obyek wisata terbaik di negeri ini. Jelas sangat bisa membantu pemerintah mengembangkan dunia pariwisata berkelanjutan, dalam hal ini pemberdayaan Benteng Ancol.
Caranya bisa berbagai macam. Satu di antaranya melalui program CSR (Corporate Social Responsibility-pen). Atau jadikan benteng menjadi salah satu bagian obyek wisata TIJA. Ini bakal membuat wahana di TIJA semakin lengkap dan ramai.
Tak hanya itu, keanekaragaman Ancol sebagai obyek wisata terkemuka akan lebih terkenal dengan mempedulikan heritage yang berada di sekitar mereka. "Wisata sejarah tetap memiliki nilai ekonomis kok, asal dikelola dengan benar," tambah Asep, yakin. Soalnya jarang ada obyek wisata besar di dunia yang peduli dengan peninggalan sejarah di sekitarnya.
Ketika dihubungi, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Arie Budhiman mengatakan, pihaknya sangat mungkin bekerjasama dengan swasta atau perorangan untuk merawat, mengolah, dan mengembangkan cagar budaya. Sebab, pemerintah memiliki banyak keterbatasan untuk itu. "Saat ini saja ada sekitar 273 cagar budaya di DKI. Sebagian diurus bersama swasta dan perorangan," kata Arie Budhiman.
Arie menambahkan, jika memang Benteng Ancol termasuk cagar budaya, maka kewajiban pemerintahlah memelihara dan merevitalisasi benteng tersebut. Ini sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya. "Namun, bukan berarti kita menutup diri dari partisipasi pihak luar. Asing saja bisa membantu, apalagi perusahaan swasta yang ada di sekitar obyek tersebut," kata Arie.
Pemprov DKI seperti membuka diri. Sekarang tinggal pengelola TIJA melihat potensi tersebut. Jika memang ada kesamaan pandangan, kenapa tidak menjadikan kecocokan ini sebagai momentum membuat Ancol lebih maju dan beragam lagi. Selain menguntungkan kedua belah pihak, pasti sangat berguna bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Bukankah kita sepakat bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa para pahlawannya. Saya pikir pengelola Ancol juga bisa menjadi pelopor bagi pengelola obyek wisata lainnya di Indonesia: perusahaan yang besar adalah perusahaan yang peduli dengan situs sejarah di sekitarnya.
Saya setuju itu. Bagaimana dengan Anda?
0 komentar:
Posting Komentar